Kebijakan UU No 1 Tahun 2022 Terhadap Pemerintah Provinsi Serta Kabupaten/Kota Melihat Dari Sudut Pandang Politik Hukum

Ditulis Oleh: Muhammad Qhusairi Adikananda
Nim: P2B122010, Kelas:C

Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang

bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupalan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri

Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.


Beberapa hal terpenting dari amandemen UUD 1945 itu adalah penegasan pemerintahan daerah dijalankan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (dalam penelitian ini yaang dimaksud UUD 1945, adalah UUD 1945 hasil amandemen kedua tahun 2000). Sehingga dengan demikian, kewenangan untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi semakin memberikan peluang bagi masyarakat daerah untuk melaksanakan otonomi daerahnya, dengan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah itu sendiri.

Setelah disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 oleh Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, terjadi perubahan terhadap UUD 1945. Dibandingkan dengan cara yang paling umum untuk memperbaiki konstitusi negara ini, alasan yuridis untuk berurusan dengan roda pemerintahan dan masyarakat masih dalam pengaturan yang terkandung dalam UUD 1945 yang lama. Tentunya hal tersebut sudah tidak sesuai dengan jiwa Amandemen UUD 1945 dan harus mengalami perubahan sesuai dengan perubahan yang sebenarnya.

Rincian penerimaan daerah dari hasil perimbangan keuangan berdasarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 2022 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Perimbangan Keuangan sebagai berikut : Penerimaan pajak bagi hasil dan barang tidak bergerak serta biaya perolehan tanah dan hak-hak tidak bergerak, serta Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 dari Wajib Pajak Khusus Negara dan Pajak Penghasilan Pasal 21, yang kemudian dibagi menurut jumlah sisa sebagai berikut:

 a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): untuk pemerintah pusat 10% 90% untuk pemerintah daerah (kemudian dibagi 16,2% Kabupaten/Kota antar provinsi untuk mendapatkan 64,8 dan hanya 9% yang digunakan untuk pemotongan gaji); Tahun

 b. Penerimaan Real Estate dan Bea Perolehan Hak Guna Tanah (BPHTB): 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah (pemerintah provinsi menerima 16% dan pemerintah kabupaten/kota menerima 60%);

c. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 untuk wajib pajak dalam negeri orang pribadi dan pajak penghasilan pasal 21, pemerintah daerah adalah 20%, dimana 60% (dari 20% daerah) harus menjadi bagian dari pendapatan pemerintah daerah, kabupaten dan kota, sedangkan 40% sisanya (dari 20% total pangsa pasar daerah) dikembalikan ke pemerintah provinsi; Pendapatan dari beberapa Sumber Daya Alam Daerah, termasuk: a. Penerimaan IHPH yang dihasilkan oleh sektor terkait dibagi sama rata 20% untuk pemerintah pusat sedangkan 80% sisanya untuk pemerintah daerah dengan rincian bagian pemerintah provinsi sebesar 16%, Kabupaten/Kota menyumbang 64%. b. Penerimaan dari Penyediaan Sumber Daya Hutan (PSDH), yang kepada pemerintah pusat adalah 20%, sedangkan kepada pemerintah daerah adalah 80%, yang bagian pemerintah daerah (80%) kemudian akan menjadi bagian dari sisanya. 16% menjadi milik pemerintah provinsi, sedangkan sebesar 32% menjadi milik pemerintah provinsi/kota untuk berproduksi, dan sisanya 32% dibagikan dengan bagian yang sama kepada pemerintah daerah provinsi/kota lain yang relevan. c. Penerimaan dana reboisasi dibagi rata kepada pemerintah provinsi dengan persentase 60% digunakan untuk restorasi hutan dan lahan secara nasional, 40% sisanya untuk pemerintah kabupaten dan kota untuk kegiatan lain, kegiatan restorasi hutan dan lahan di kabupaten produksi/kota. 

d. Penerimaan dari iuran tetap pertambangan umum (landrent) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan sebesar 20 % untuk pemerintah pusat dan 80% buat pemerintah daerah dengan rincian pemerintah propinsi memperoleh bagian 16% sedangkan kabupaten/kota penghasil akan memperoleh sebesar 64%. e. Penerimaan dari iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi pertambangan umum (royalty pertambangan umum) : sebesar 20 % untuk pemerintah pusat dan untuk pemerintah daerah sebesar 80% yang akan dibagi dengan rincian 16 % untuk pemerintah propinsi dan 32% untuk pemerintah kabupaten/kota penghasil, sedangkan sisanya 32% lagi dibagi rata untuk pemerintah kabupaten/kota lainnya di dalam wilayah propinsi yang bersangkutan; 

f. Penerimaan dari sektor perikanan yang terdiri dari hasil pungutan pengusahaan perikanan, dan penerimaan pungutan hasil perikanan, dibagi antara 20% untuk pemerintah pusat dan sisanya 80% dibagikan secara merata atau dengan porsi yang sama besar kepada seluruh pemerintah kabupaten/kota di Indonesia; 

g. Penerimaan dari hasil pertambangan minyak bumi (setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sebagaimana ditentukan peraturan perundangundangan), dibagi antara pemerintah pusat yang memperoleh 84,5% dengan sisanya 15,5 % untuk pemerintah daerah yang kemudian dibagi lagi masingmasing untuk pemerintah propinsi sebesar 3 %, dan 6 % untuk pemerintah kabupaten/kota penghasil serta 6% lagi untuk pemerintah kabupaten/kota lainnya dalam wilayah propinsi yang sama. Sedangkan sisanya sebesar 0,5 % dibagi dengan rincian : 0,1 % diserahkan untuk pemerintah propinsi, 0,2 % untuk pemerintah kabupaten/kota penghasil, dan sisanya 0,2 % dibagi untuk seluruh kabupaten/kota lainnya yang berada dalam propinsi yang bersangkutan.

 h. Penerimaan dari ekstraksi gas bumi atau gas bumi (setelah dikurangi komponen pajak) dibagi 69,5% untuk pemerintah pusat dan 30,5% untuk pemerintah daerah, kemudian dibagi oleh pemerintah tingkat provinsi 6%, untuk produksi pemerintah kabupaten/kota menerima 12 Sisanya 12% dibagi rata antara pemerintah kabupaten/kota lainnya di provinsi yang sama). Sedangkan 0,5% sisanya akan dibagi antara 0,17% kepada pemerintah provinsi terkait dan 0,33% kepada seluruh pemerintah kabupaten/kota di provinsi tersebut; dan

 i. Tambahan penerimaan panas bumi yang dihasilkan dari sektor yang bersangkutan adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang terdiri dari pembayaran dari pemerintah dan royalti tetap dan royalti produksi, dibagi oleh pemerintah pusat 20% dan sisanya 80% kepada pemerintah daerah, yang kemudian dibagi menjadi bagian yang sama, 16% untuk pemerintah provinsi, 32% untuk pemerintah kabupaten/kota manufaktur dan 32 % sisanya dibagi rata di antara semua pemerintah provinsi kota/kabupaten terkait. 

Berdasarkan faktor-faktor tersebut di atas, berdasarkan ketentuan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Neraca, pada prinsipnya tidak ada perubahan yang mendasar dibandingkan dengan peraturan perimbangan keuangan, yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999. Yang ada hanyalah perbedaan nisbah bagi hasil antara pemerintah pusat dan daerah, dan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang langsung menjadi kewenangan pusat di provinsi yang bersangkutan. Juga cukup menggembirakan bahwa masuknya Pasal 25 dan Pasal 29 tentang Bagi Hasil Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi dan Pasal 21 PPh dalam Undang-Undang Perimbangan yang terbaru ini, yang sebelumnya hanya dicantumkan bagi hasil pajak penghasilan ini.

 Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang murni merupakan pajak pemerintah pusat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi kesan bahwa pemerintah pusat dengan kebijakannya melalui undang-undang perpajakan pusat, memberikan dukungan berupa bagian dari pajak penghasilan yang dipungut oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dimasukkannya dana bagi hasil pajak penghasilan ini dalam undang-undang perimbangan akan semakin memperkuat otonomi daerah dari sudut hubungan keuangan yang seimbang antara pusat dan daerah.

Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (1) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (2) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (3) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (4) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir uale| objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). 

Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagr hasil. 

Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu.

Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah.

Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentatg Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.

Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam berbagai kebijakan peraturan perundang-undangan dapat dilihat bagaimana Pusat menyerahkan beberapa sumber-sumber pajak dan retribusi yang dimiliki pemerintah pusat yang selanjutnya menjadi sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini merupakan konsekuensi dianutnya desentralisasi pemerintahan yang melahirkan etonomi daerah untuk mengurus urusan-urusan yang telah melahirkan urusan rumah tangga daerah.

 Perimbangan keuangan pasca reformasi adalah koreksi total terhadap perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan perimbangan keuangan tersebut, dimana sebelum reformasi berdasarkan UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah hanya bertumpu pada penyerahan/pemberian beberapa jenis pajak Negara berdasarkan persentase tertentu dan kemudian diikuti dengan pemberian berbagai subsidi sesuai dengan pemerintah pusat. Namun dalam Undang Undang perimbangan keuangan pasca reformasi seperti : UU Nomor 25 Tahun 1999, UU Nomor 33 Tahun 2004 dan UU Nomor 1 Tahun 2022, telah memasukkan perimbangan keuangan dalam masalah sumber daya alam yang terdapat di daerah-daerah (seperti pertambangan umum, minyak bumi dan gas, kehutanan, perikanan), sehingga sumber keuangan daerah menjadi bertambah dan secara signifikan akan berpengaruh secara positif terhadap pelaksanaan otonomi daerah dari masing- masing daerah.  Dan juga pengaturan tentang pajak dan retrebusi daerah yang bisa di atur oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota masing-masing.


Komentar