ANALISIS POLITIK HUKUM ATAS PEMINDAHAN IBU KOTA NEGARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2022 TENTANG IBU KOTA NEGARA

Oleh: Muhammad Akbar Yani

A. Latar Belakang Masalah

Adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara sendiri merupakan bentuk kepastian hukum mengenai pemindahan Ibu Kota. Kepastian wilayah Ibu Kota Negara di Indonesia tidak disebutkan secara pasti dan tegas dalam konstitusi melainkan dalam Undang-Undang sebagai payung Hukum yang mengaturnya. Sebagaimana Jakarta yang ditetapkan menjadi Daerah Khusus Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat Provinsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun dalam Undang-Undang tersebut tidak menyebutkan mengenai mekanisme pemindahan Ibu Kota (UU No 29 Tahun 2007 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Namun pada pada 16 Agustus 2019 pemerintah meminta izin kepada DPR RI untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Pulau Kalimantan (Publikasi Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia). Namun demikian, selama tahun 2020 hingga pertengahan 2021 wacana pemindahan Ibu Kota Negara tersebut nampak terhenti dikarenakan adanya peralihan fokus kebijakan atau refocusing kebijakan dalam menangani pandemi Covid-19 hingga triwulan akhir pada tahun 2021 wacana tersebut kembali di ajukan. Setelah melalui berbagai pro dan kontra berkaitan dengan rencana pemindahan Ibu Kota Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur, akhirnya pada tahun 2022, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dapat terealisasi.

Ibu Kota Negara yang dinamai dengan Ibu Kota Nusantara ini merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus sebagaimana yang tertuang dalam pasa 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara “Sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan sebagaimana ditetapkan dan diatur dengan Undang-Undang ini”. Wilayah yang diberi status khusus diyakini dapat meningkatkan pelayanan administrasi pada masyarakat karena pengembangan wilayah dengan sendirinya dapat memberikan peluang (Labolo dan Toana, 2022: 23).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (selanjutnya disebut UU IKN) menyebutkan bahwasanya pembentukan Ibu Kota Nusantara ini memiiki tujuan yang ingin dicapai sebagaimana yang tertuang dalam pasal 2 yakni “Menjadi kota berkelanjutan di dunia, sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan dan menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia”.

Selain itu, UU No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara juga mengatur mengenai nama Ibu Kota Negara yang bernama “Ibu Kota Nusantara” serta kebijakan terbaru dalam penyelenggara pemerintahan diwilayah Khusus Ibu Kota Negara tersebut yakni Kepala dan Wakil Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara serta mengatur beberapa aspek strategis mulai dari cakupan wilayah geografis, bentuk dan susunan pemerintahan, penataan ruang dan pertanahan, pemindahan kementerian atau lembaga, pemantauan dan peninjauan, hingga sumber keuangan.

Pemindahan Ibu Kota Negara sendiri sangat dimungkinkan dan sangat mungkin dapat terjadi dikarenakan tidak terdapat larangan atau penegasan atas wilayah Ibu Kota Negara yang di atur dalam konstitusi. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan Amandemennya sebagai konstirusi negara sndiri tidak mengatur secara tegas hal tersebut bahkan penyebutan kata Ibu Kota Negara dalam konstitusi sendiri hanya disebutkan sebanyak dua kali dalam konstitusi hal tersebut terdapat dalam Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat di Pasal 2 yang berbunyi, “Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara”. Serta yang lainnya terdapat dalam Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan di Pasal 23G yang berbunyi, “Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi”.

Dengan adanya terdapat fleksibilitas yang tinggi dalam mengatur termasuk memindahkan Ibu Kota negara. Politik hukum pemindahan Ibu Kota negara melalui Undang-Undang sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia saat ini juga sejatinya diperbolehkan hanya saja harus sejalan dan sesuai dengan cita-cita negara dan kepentingan masayrakat sehingga tentu saja diperlukan alasan yang kuat dan mendasar tentang efektifitas fungsinya (Yahya, 2018: 22).

Menurut Soedarto dalam Isharyanto (2016: 2-3) mengemukakan bahwasanya politik hukum adalah suatu pembentukan kebijakan oleh negara melalui lembaga atau badan negara yang berwenang guna menetapkan atau membentuk peraturan-peraturan yang diinginkan guna mengekspresikan yang terkandung dalam masyarakat serta agar dapat mencapai hal yang dicita-citakan. Singkatnya politik hukum dapat diartikan sebagai suatu legal policy mengenai aturan yang ingin diberlakukan sebagai suatu media dalam mencapai tujuan negara. Setiap negara terdapat politik hukum yang perannya sebagai kebijakan dasar bagi penyelenggara negara untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. Politik hukumnya dilakukan dengan lebih sederhana yaitu lebih dikaitkan pada kebutuhan yang bersifat khusus daripada yang pokok atau asas-asanya (Frenki, 2011: 1).

Permasalahannya yakni dalam pembentukan Undang-Undang ini beberapa substansi yang terdapat dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara dinilai menyalahi konstitusi khususnya pada pasal 18, 18A ayat (1) dan 18B ayat (1) terkait dengan pemerintahan daerah serta minimnya akomodasi kepentingan masyarakat seperti pembentukan Otorita Ibu Kota Negara serta Undang-Undang ini dinilai tidak mengakomodasi kepentingan masayrakat hal tersebut dikarenakan secara kepastian hukum hak masyarakat adat belum dibentuk, yang mana sudah semestinya pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara harus mengakomodasi secara khusus hak-hak masyarakat termasuk masyarakat adat secara komprehensif mengingat masih terdapat banyak masayrakat adat yang terdapat di wilayah pembangunan Ibu Kota Negara tersebut selain itu juga Undang-Undang ini ini tidak dijelaskan secara detail mengenai mekanisme pengawasan dan pelibatan masyarakat secara langsung selama pembangunan IKN melainkan hanya mengatur mengenai partisipasi masyarakat terkait proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan Ibu Kota Negara sebagai mana yang tertuang dalam pasal 37 Undang-Undang Ibu Kota Negara.

Atas dasar permasalahan tersebutlah penulis memiliki keinginan untuk mengkaji dan membahas lebih lanjut mengenai kebijakan atau politik hukum terkait dengan pemindahan Ibu Kota Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Maka dari itu, penulis mengangkat judul “Politik Hukum Atas Pemindahan Ibu Kota Negara Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka penulis merumuskan rumusan masalah berikut:

1. Bagaimana politik hukum pemindahan Ibu Kota Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara?

C. Tujuan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penulisan ini yakni:

1. Untuk mengetahui politik hukum dalam pemindahan Ibu Kota Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

D. Kerangka Konseptual

Agar judul pada penulisan penelitian ini dapat di pahami dengan baik mengenai maksud penelitian serta memudahkan pembahasan dan menghindari adanya kesalahan atau penyimpangan persepsi dan penafsiran maka penulis menganggap bahwa diperlukan konsepsi terkait dengan judul penelitian. Oleh karenanya kerangka konseptual penelitian ini yakni:

1. Politik Hukum

Menurut Soedarto dalam Isharyanto (2016: 2-3) mengemukakan bahwasanya politik hukum merupakan suatu kebijakan yang dibentuk atau dibuat oleh negara melalui badan-badan negara yang memiliki kewenangan atasnya guna menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipakai atau menjadi media untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat serta guna dapat mencapai hal yang dicita-citakan.

2. Pemindahan

Menurut (KBBI) pemindahan berasal dari kata “pindah yang berarti beralih atau bertukar tempat. Sedangkan perpindahan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni proses, cara, perbuatan memindahkan.

3. Ibu Kota Negara

Ibu Kota Negara dalam penelitian ini yakni sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Ibu Kota Negara yakni Ibu Kota Negara adalah Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

E. Landasan Teoretis

1. Teori Politik Hukum

Menurut Satjipto Rahardjo dalam Bambang Susanto (2021: 4) mengartikan bahwasaya politik hukum sebagai suatu aktivitas pemilihan kehendak guna dapat menciptakan tujuan sosial dan hukum dalam kehidupan masayrakat yang mana artinya, hukum menjadi suatu media agar menciptakan hukum nasional yang sejalan dengan cita-cita suatu negara.

Sedangkan Mahfud MD (2010: 1) mendevisikan pengertian politik hukum merupakan suatu legal policy atau garis suatu (kebijakan) resmi yang dibentuk tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Kemudian masih menurut Mahfud MD dalam Sopiani dan Mubaraq (2020: 147) mengemukakan bahwa politik hukum meliputi pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan serta pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

Adapun Soedarto dalam Isharyanto (2016: 2-3) mendefinisikan politik hukum sebagai suatu kebijakan negara yang bentuk melalui badan-badan atau lembaga negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Menurut Padmo Wahjono dalam Mahfud MD (2010: 1) mengatakan bahwa politik hukum merupakan suatu kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun substansi hukum yang akan dibentuk.

Berdasarkan pengertian politik hukum yang telah diberikan oleh para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum merupakan kebijakan-kebijakan hukum pemerintah yang akan dikeluarkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan seperti undang-undang, perpu, PP, perpres, perda. Pembentukan kebijakan hukum dijalankan oleh lembaga-lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan hukum berdasarkan cita negara, cita hukum dan tujuan negara yang terdapat dalam konstitusi pada suatu negara atau hukum dasar yang dijadikan dasar rujukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik hukum juga dapat diartikan sebagai suatu kebijakan pemerintah dalam mengatur rakyatnya melalui pembangunan hukum yang sistematis untuk mencapai tujuan bersama dalam bernegara. Dalam prakteknya politik hukum selalu diidentikkan dengan kebijakan berupa pembentukan peraturan perundang-undangan. Arah pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan politik hukum sebagai alat negara mencapai tujuannya.

Menurut William Zevenbergen dalam Latif dan Ali (2011: 19) mengutarakan bahwasanya politik hukum mencoba menjawab pertanyaan mengenai peraturan-peraturan hukum yanag mana yang lebih layak dan patut untuk dijadikan suatu hukum. Perundang-undangan yang dibuat itu sendiri merupakan suatu bentuk dari politik hukum yang dibuat (legal policy). Legal policy sendiri mencakup proses dalam pembuatan dan pelaksanaan hukum yang menujukkan arah kemana hukum dibangun. Politik hukum memberikan landasan terhadap proses pembentukan hukum yang lebih sesuai, situasi dan kondisi, kultur serta nilai yang berkembang di masyarakat dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri (Mahfud MD, 2010: 9).

2. Teori Politik Hukum Nasional

Sedangkan politik hukum nasional merupakan kebijakan para pemimpin bangsa ini yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka yaitu pada zaman penjajah Belanda dan jepang. Secara resmi, politik hukum yang paling pertama dibentuk oleh para pahlawan pendiri bangsa Indonesia adalah pancasila yang mencerminkan keanekaragaman budaya dan adat istiadat bangsa ini yang disatukan oleh Negara kesatuan Republik Indonesia. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya tepatnya tanggal 18 agustus Tahun 1945 bangsa Indonesia yang diwakili oleh para pahlawan bangsa pada waktu itu mengesahkan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mana kemudian dijadikan tujuan dan cita-cita bernegara. Undang-Undang Dasar 1945 terutama pembukaannya merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia atau menjadi sebuah konstitusi di Indonesia yang juga menjadi dasar rujukan dalam membuat undang-undang dan aturan dibawahnya. Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Andi Muhammad Abdillah (2020: 24) “Politik Hukum mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai”.

Dalam Sistem Hukum Nasional mengandung beberapa hal yakni: a) Sistem Hukum Nasional dibangun berdasarkan dan untuk mempertahankan sendi sendi Pancasila dan UUD 1945, b) Tidak ada hukum yang memberikan hak-hak istimewa pada warga negara yang didasarkan kepada suku, ras, dan agama, c) Pembentukan hukum memperhatikan keinginan rakyat, d) Pengakuan terhadap hukum adat dan hukum tidak tertulis sebagai hukum nasional, e) Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan kepada partisipasi masyarakat, f) Pembentukan dan penegakan hukum adalah demi kesejahteraan umum, tegaknya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terselenggaranya negara berdasar atas hukum dan konstitus (Wahab: 2012, 24).

Berdasarkan pendapat diatas, maka Politik Hukum Nasional dapat dikatakan sebagai suatu pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan dalam bentuk apapun agar suapaya sesuai, sejalan dan relevan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara dan sumber rujukan dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

F. Pembahasan

1. Politik Hukum dalam Pemindahan Ibu Kota Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

Konsep politik hukum telah diakomodasikan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mana didalamnya mengatur mengenai tahapan-tahapan suatu perundang-undangan yang akan dibentuk mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan hingga di undangkannya peraturan tersebut ditengah-tengah masayrakat (Mahdi, 2022: 848).

Merujuk pada politik hukum yang dijabarkan oleh Soedarto dalam Isharyanto (2016: 2-3) yang mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan negara yang dibuat melalui badan negara yang memegang wewenang menetapkan aturan guna dimengekspresikan hal yang terkandung di masayrakat sosial agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Serta merujuk pada hukum politik nasional yang mengandung beberapa unsur seperti pembangunan hukum yang berdasarkan pada konstitusi serta tidak adanya pengkhususan atau pemberian hak istimewa yang didasari pada RAS, melihat keinginan dan kepentingan rakyat, mengakui hukum adat, melibatkan partisipasi masayrakat serta pembentukan hukum yang dibangun atas dasar demi kesejahteraan masayrakat (Wahab, 2012: 24).

Kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara jika ditinjau secara normatif-yuridis Undang-Undang IKN ini memiliki beberapa kekurangan baik dalam substansinya maupun dalam relevansinya terhadap konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945. Substansi pengaturan yang tertulis dalam Undang-Undang tersebut lebih banyak digambarkan secara abstrak atau hanya secara umum tanpa mengkaji lebih mendalam mengenai persoalan yang konkret sehingga dapat berpotensi menimbulkan permasalahan baru dikemudian hari yang dapat merugikan masayrakat sebagai contoh yakni terdapat pada Pasal 9 terkait Otorita Ibu Kota Nusantara serta abstraknya substansi dalam kepentingan dan partisipasi masyarakat dalam pasal 21 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Substansi pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 yang dinilai bertentangan dengan konstitusi yakni adanya terkait dengan pembentukan pemerintahan yang terdapat pada Ibu Kota Negara yang mana pemerintahannya dikhususkan dengan pelaksana pemerintahan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara yang mana jabatan tersebut setingkat dengan mentri dan diangkat serta diberhentikan oleh presiden.

Jika dilakukan telaah secara konseptual, maka didapti bahwasanya Otorita Ibu Kota Negara merupakan suatu organisasi yang mana kepemimpinannya merupakan delegasi dari pemerintah pusat dan bukan oleh masyarakat. Namun yang menjadi permasalahannya yakni pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara ini sebagai pemerintah Ibu Kota Negara dinilai menyalahi konstitusi khususnya pada pasal 18, 18A ayat (1) dan 18B ayat (1) terkait dengan pemerintahan daerah. Dalam pasal tersebut tidak mengatur adanya utusan atau delegasi dari pemerintah dalam memimpin daerah termasuk daerah khusus sebagaimana Jakarta sebelumnya yang juga hanya dipimpin oleh gubernur yang dipilih secara demokratis oleh rakyat. Adanya utusan pemerintah pusat tersebut terkesan bahwasanya pemerintah pusat ingin menjadikan pemimpin daerah sebagai bawahannya secara langsung dan jika diasumsikan secara sosiologis maka pemerintah dapat mengankat atau memberhenikan seorang kepala daerah yang merupaka delegasinya berdasarkan suka tidak suka.

Sejatinya, terkait dengan mengistimewakan suatu daerah dapat dilakukan selagi relevan dan sejalan dan terpenting tidak bertentangan dengan konstitusi yang ada. Hal tersebut tertuang secara implisit dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VI/2008. Kemudian Zudan Arif Faturullah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-VIII/2010 yang bertindak sebagai ahli pemerintah dalam pengujian Undang-Undang tersebut ia menyatakan bahwasanya meskipun dibenarkan secara yuridis, terdapat beberapa prinsip yang harus diimplementasikan dalam pengaturan yang berbeda mengenai kekhususan pemerintah daerah yakni pengaturan kehususan diharuskan dalam bingkai NKRI, sejalan dengan tujuan mewujudkan kemakmuran masayrakat setempat dan masayrakat luas, mempercepat perwujudan, pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan memperkuat demokratisasi tingkat lokal dan mewujudkan tujuan otonomi daerah.

Sehubungan dengan otonomi daerah, dapat diketahui bahawasanya otonomi daerah berarti memberikan hak dan kesempatan kepada daerah untuk untuk mengatur otonomi daerah, adapun pengertian otonomi daerah itu sendiri adalah seperti yang di sebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 mengenai pemerintahan daerah. Dengan demikian maka setiap pemerintah berhak mengatur sendiri pemerintahan yang ia pimpin tanpa campur tangan dari pemerintah pusat seperti pelayanan kepada masyarakat, pembangunan, politik, ekonomi maupun kesatuan bangsa.

Dari hal tersebut, penulis berpandangan bahwasanya, dalam pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara ini cenderung bertentangan dengan perinsip otonomi daerah dan kembali pada masa orde lama yang mana pimpinan daerah dapat diatur oleh pusat mengingat saat itu dewan yang memilih pemimpin daerah cenderung diatur oleh pemerintah pusat sehingga menjadikan pimpinan daerah rentan akan kebasannya dalam mengatur pemerintahannya. Hal tersebut juga sejalan dengan pembentukan Otorita Ibu Kota Nusantara yang merupakan delegasi dari pemerintah pusat yang dapat di angkat maupun diberhentikan oleh pemerintah pusat.

Pada pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara yang mana dalam Undang-Undang tersebut pada intinya mengatur hak-hak masyarakat mengenai penataan ruang, pengalihan hak atas tanah, dan lingkungan hidup. Adanya pasal tersebut memang sangat lah penting gua melindungi hak individu masayrakat adat terlebih wilayah kalimatan merupakan wilayah dengan banyak kelompok masayrakat adat. Sebagaimana diketahui hingga saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang khusus yang memberikan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat. Karena secara kepastian hukum hak masyarakat adat belum dibentuk, sudah semestinya pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara harus mengakomodasi secara khusus hak-hak masyarakat adat secara komprehensif. Ke abstrakan pasal tersebut tentu berpotensi dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari baik berupa sengketa, maupun pengelolaan dan sebagainya terkait lahan adat dan hak masyarakat adat di wilayah Ibu Kota Negara.

Kemudian pada pasal Pasal 37 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara mengatur partisipasi masyarakat terkait proses persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengelolaan IKN. Pada pasal ini tidak dijelaskan secara detail mengenai mekanisme pengawasan dan pelibatan masyarakat secara langsung selama pembangunan Ibu Kota Negara. Satu aspek mendasar yang juga luput tidak diatur Undang-Undang Ibu Kota Negara adalah mekanisme persetujuan masyarakat adat (indigenous peoples consent) terhadap semua program kebijakan yang berkaitan dengan pemindahan Ibu Kota Negara.

Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa kualitas kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara sangat buruk, tidak prosedural, tidak terencana, tergesa-gesa, hingga mengabaikan aspirasi masyarakat. Sikap tergesa-gesa itu setidaknya dapat diamati dari pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang dapat dikatakan super kilat. Praktik pembentukan Undang-Undang tersebut tidak lazim terjadi. Undang-Undang Ibu Kota Negara yang menjadi legitimasi kebijakan politik seharusnya memuat berbagai aspek pengaturan yang jelas, konkret, dan komprehensif serta membutuhkan pengkajian mendalam.

Logikanya, pemindahan Ibu Kota Negara yang merupakan megaproyek tentunya akan berkenaan dengan banyak sektor yang terdampak, di antaranya lingkungan hidup, sosial budaya, ekonomi, politik kebijakan publik, hukum pemerintahan daerah, perencanaan tata kota dan wilayah, hingga aspek kepentingan hukum masyarakat setempat terdampak yang harusnya dilindungi serta memperhatikan permasalahan bangsa dan negara, termasuk pada aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis.

Hukum merupakan produk politik sehingga konfigurasi politik akan sangat menentukan hukum yang dibentuk atau diberlakukan di suatu negara. Sebagaimana yang diketahui bahawasanya hukum yang dibuat merupakan suatu produk politik yang dengan demikian berarti pembentukan hukum tidak lepas dari atensi atau tekanan ataupun kondisi politik di Indonesia (Hajiji, 2013: 367).

Karakter hukum tersebut secara substansi lebih mencerminkan visi sosial elite politik, keinginan pemerintah, dan bersifat ortodoks yang menutup tuntutan kelompok dan individu di dalam masyarakat. Terlebih lagi pembuatan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang sangat cepat (fast track) serta akses partisipasi masyarakat yang minim dan tidak banyak terakomodasi, cukup memberikan gambaran bahwa Undang-Undang Ibu Kota Negara dapat dikatakan merupakan produk hukum yang berkarakter konservatif, ortodoks, dan elitis.

Pada konfigurasi politik otoriter, susunan sistem politiknya memungkinkan negara berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan negara. Konfigurasi politik jenis itu ditandai dengan adanya dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan oposisi terbuka, dan dominasi pimpinan negara untuk menentukan kebijaksanaan negara. Meski Indonesia adalah negara demokrasi, namun nyatanya pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara menunjukkan cenderung adanya penyimpangan prosedur perumusan kebijakan. Banyak terjadi judicial review terhadap UU kontroversial di Mahkamah Konstitusi, termasuk Undang-Undang Ibu Kota Negara.

G. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis menarik kesimpulan yakni:

1. Pengaturan pemindahan Ibu Kota Negara ini merupakan suatu yang cenderung memaksa. Singkatnya waktu pembentukan Undang-Undang Ibu Kota Negara menjadikan substansi yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut juga mengandung kontroversi dan banyak diperdebatkan. Pembentukan Perundang-Undangan yang seharusnya mementingkan beberapa hal pokok seperti kepentingan masyarakat, partisipasi masayrakat dan keselarasan dengan konstitusi menjadi suatu hal yang penting untuk dilakukan analisis kembali. Abstraksi dan lembaga pemerintah baru yang dibentuk menjadikan strutur ketatanegaraan di Indonesia membuka lembaran baru dan sangat diperlukan adanya payung hukum yang kuat dan detil akan hal itu. Meskipun demikian, pemindahan Ibu Kota Baru ini dapat dibenarkan dan pengkhususan atau pengistimewaan suatu daerah juga dapat dibenarkan karena memiliki landasan. Terlebih konstitusi tidak mengatur wilayah Ibu Kota Negara di Indonesia. Hanya saja politik hukum yang saat ini masih belum dapat mengakomodasi seluruhnya terkait pemindahan Ibu Kota Negara namun demikian, pengambilan kebijakan lain dimasa yang akan datang juga akan menentukan arah pemindahan Ibu Kota Negara yang diharapkan dapat mengakomodasi secara keseluruhan sehingga tidak menimbulkan masalah ditengah masyarakat.

REFERENSI

Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Abdul Wahab, “Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang di Indonesia”, Tesis, Universitas Indonesia, 2012

Andi Muhammad Abdillah, “Politik Hukum Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan”, Tesis, Universitas Hasanuddin, 2020

Artikel Publikasi Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia dapat dilihat pada https://www.setneg.go.id/baca/index/presiden_jokowi_tegaskan_rencana_pemindahan_ibu_kota_di_hadapan_anggota_dewan (Diakses pada 12 Desember 2022)

Bambang susanto, Politik hukum, Banten: UNPAM Press, 2021

Frenki, ‘‘Politik Hukum Dan Perannya Dalam Pembangunan Hukum Di Indonesia Pasca Reformasi,’’ ASAS Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Volume 3, Nomor 2, 2011

Isharyanto, Politik Hukum, Surakarta: CV Kekata Group, 2016

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online dapat dilihat di https://kbbi.web.id/pemindahan (diakses pada 12 Desember 2022)

Merdi Hajiji, “Relasi Hukum Dan Politik Dalam Sistem Hukum Indonesia”, Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 2, Nomor 3, 2013

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Muhadam Labolo dan Ahmad Averus Toana, Relokasi Ibu Kota Negara (Studi Alternatif), Cetakan Pertama, Jawa Tengah: Eureka Media Aksara, 2022

Muhammad Yahya, ‘‘Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera,” Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Volume 14, Nomor 1, 2018

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VI/2008

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 81/PUU-VIII/2010

Sopiani dan Zainal Mubaraq, “Politik Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasca Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 7, Nomor 2, 2020

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara

Wahyu Laksana Mahdi, “Telaah Politik Hukum Pembentukan Badan Otorita Ibu Kota Negara dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Lex Generalis, Volume 3, Nomor 10, 2022.

Komentar